Disampingku dia hanya diam tanpa kata. Mungkin dia marah
karena aku tak bisa tempat waktu menemuinya. Sesuatu hal yang membuat
keterlambatan itu adalah jam pemberiannya hilang entah kemana. Takutnya dia
sekamin marah bila mengetahui hal ini.
“jangan marah Iya! Maaf!” permintaanku.
Dia tetap diam, tak sedikitpun bibirnya bergerak. Hanya
cemberut dan muka penuh kemarahan.
“iya sudah, aku pergi.” Mencoba membuat dia peduli.
“tunggu!”
Dia memegang tanganku, menahan aku supaya jangan dulu pergi.
Tetapi dia memegang tangan kiriku, yang mana jam pemberiannya selalu ku pakai
disitu.
“jam kamu mana?” tanyanya keheranan.
“jam? Oh . . . aku lupa
tak dipakai karena terburu-buru.” Jawabku.
“sekarang jam itu kau simpan dimana?” Tanyanya dengan tegas.
“emm . . . jam itu, ku simpan di laci meja belajarku. Iya di
laci kamarku.” Jawabku dengan sedikit keliru.
“dari kapan pacarku bohong?” tegasnya.
“bohong? Maksudmu?” mencoba tak mengakuinya.
“Tak usah mengelaklah! Jujur saja!” perintahnya.
Aku bingung dan malu dibuatnya, rasanya mukaku dibuat merah
olehnya. Aku juga bingung dimana jam itu berada.
“sudah terlambat, sekarang lagi jamnya malah ilang. Kamu
teredor. Apa mungkin dengan hubungan ini juga kamu teredor?” tanyanya dengan
kesal.
“aku sudah jujur, harus bagaimana lagi?” masih mencoba tak
mengakui.
“ada apa dibalik kejujuran itu? Ada kebohongan?” dengan
sedikit menitikan air mata.
Aku sedikit heran terhadap sikapnya, begitu juga dengan
sikapku sendiri. Dia begitu penuh dengan kecurigaan dan aku begitu ngotot
menutupi kebohonganku sendiri.
Dia menangis, ku coba untuk menenangkannya. Seharusnya aku
jujur saja, tetapi salahnya tak dari awal. Jika saja aku jujur dari awal yang
sebenarnya, aku takut dia semakin membenci aku begitu juga dengan perasaan
hatinya. Aku takut dia terluka. Keterlambatan tak menjadi alasan, untuk
sekarang lebih baik kejujuran itu aku ungkapkan.
“jam itu hilang.” Penjelasanku yang sebenarnya.
Dia menangis semakin menjadi-jadi, aku coba merangkulnya
tetapi dia membalas pukulan kesal. Wanita mana yang mau dibohongi? Jelas tidak
ada sama sekali.
“sudah jangan nangis lagi! Aku kan sudah jujur.” Perintahku.
“apa kau bilang? Tak segampang itu kau permainkan aku dengan
kebohonganmu. Pertama kau terlambat menemuiku, kedua kau hilangkan jam pemberian
dariku, padahal jam itu ku berikan supaya kamu bisa menghargai waktu, ketiga
kau tutupi kesalahan pertama dan kedua dengan
kebohongan.” Dengan sangat kesal.
Aku coba untuk diam menahan pembelaanku sendiri. Ku tau emosi
dirinya sedang memuncak. Ku tunggu reda dulu.
“aku terlambat karena mencari jam pemberian darimu. Sudah ku
cari ke setiap sudut rumah tidak ada. Aku berbohong hanya karena kebaikanmu.
Aku tak mau merusak pertemuan kita kali ini.” Penjelasanku padanya.
“tetapi yang kau lakukan salah!” dengan menitikan air mata.
“iya, aku mengaku memang salah dan aku mohon maafkan aku!”
sambil menyusut air matanya.
“Seharusnya kau jujur saja dari awal, tak usah menutupi dengan
kebohongan.” Katanya.
“iya, apa salahnya sekarang aku sudah jujur dan maafkan aku.”
Permintaanku.
“tak semudah itu aku memaafkan kamu.” Dengan so jual mahal.
Dia menahan permintaan maafku, dengan so jual mahal.
Penyesalan kini menghampiriku, berbuah pertikaian antara aku dan dirinya.
“aku pergi.” Kataku.
“tunggu!” katanya.
“apa lagi?” tanyaku sedikit pasrah.
“hampir lupa, nih jam tanganmu. Aku temui di tempat ini.
Mungkin sudah seminggu jam ini sendiri menyepi, untung saja tak ada orang yang
mengambilnya. Semua itu karena kecerobohanmu. Aku pergi.” Dengan sikap
kesalnya,
Aku coba mengejarnya dan meminta maaf padanya dengan sangat
penuh permintaan. Dia mencoba mengetes kejujuranku dan alhasil aku malah
membohonginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar