Rabu, 18 Juli 2012

Menjemput Kenangan #Sahabat


Sapu tangan terjatuh ke rumput yang masih basah. Pagi yang indah, halus warna tirai langit membuka cahaya keabadian. Lengkap sudah semangatku, hari ini pertama aku belajar di sekolah baru. Bagaimana tak penuh dengan warna, yang ku pakai semuanya serba baru. Syukurku tak pernah usai Senyum mereka “kedua orang tua” adalah semangatku.

Melirik ke kiri dan ke kanan semuanya masih asing, hanya senyum dan sapa aku terima juga sebaliknya.
“hai . . . . salam kenal, namamu siapa?”
Sesosok anak lelaki yang seumuran denganku menyodorkan tangannya untuk berkenalan denganku. Disaat suasana pagi itu kelas masih penuh dengan keheningan. Tepat kelasku di X-2 yang masih sepi menanti keramaian.
“salam kenal kembali, namaku Adji Irawan. Namamu?”
“aku Gilang, kamu kelas X-2 juga?”
“iya, aku dikelas ini. Kamu juga?”
“iya.” 
Gilang, nama itu mengingatkan aku pada seseorang. Sahabat kecilku semasa sekolah dasar dulu. Masih ingat, dia pintar dalam bahasa inggris dan berbeda dengan ku, aku berbakat dalam matematika. Mungkin itulah yang dikatakan “Tuhan selalu adil terhadap hamba-Nya.”
“kamu duduk dengan siapa?”
“aku duduk dengan Firdza, dia se SMP denganku. Hanya saja dia belum datang, mungkin kesiangan. Kamu bingung iya mau duduk dengan siapa?”
“iya, aku bingung duduk dengan siapa.”
“nanti juga ada teman-teman baru yang lainnya. Tenang saja!”
Sikap Gilang ini percis seperti Gilang yang ku kenal empat tahun lalu. Heranku semakin memuncak, mengapa hati ini malah seperti yang sedang penasaran. Ada apa di pagi ini? Jelas waktu masih menyimpan semua jawaban.
“nama lengkap kamu apa, Lang?”
“nama lengkap aku Gilang Maharadja. Kenapa?”
“enggak, ku kira engkau gilang sahabatku dulu. Tapi bukan.”
Jelas, wajahnyapun sangatlah asing. Namun karena kerinduanku pada sahabatku itu yang begitu menggebu, sehingga setelah mendengar nama dia Gilang membuat pikirku menjadi respon lebih terhadapnya. Ternyata bukan, karena Gilang yang ku kenal dulu namanya Gilang Prasetya bukan Gilang Maharadja.
Kelas semakin ramai, tangan menjabat tangan adalah tradisi saat pertama kenalan. Berbeda-beda orang, suku dan karakter. Mereka asing dan mungkin mereka juga asing terhadapku. Terpaksa aku sendiri kedua dari belakang, yang mana didalam satu baris terdapat lima bangku. Memang dari saat MOPD aku duduk sendiri, mungkin kedudukan laki-laki di kelas ini ganjil.
Tiba seorang wanita yang seumuran dengan ibuku masuk kedalam kelas dengan pakaian rapi dan berkerudung penuh pancaran senja. Sinar dan aura keibuannya sudah terlihat, ternyata beliau wali kelas di kelasku.
“assalamu’alaikum semuanya.”
“Wa’alaikumussalam . . . Bu.”
“apa kabar hari ini?”
Itulah semboyan di sekolah baruku padam menyapa.
“Alhamdullillah, Luar biasa, Allahuakbar.”
“baiklah, perkenalkan nama ibu Nimas Ayu Wulansari. Disini ibu mengajar matematika dan sekaligus menjadi wali kelas di X-2 ini.”
Tentu bahagia sekali rasanya, wali kelasku mengajar matematika. Pikirku pada Gilang Prasetya sahabat lama jadi memudar, karena terganti oleh kehadiran Ibu Nimas sekaligus wali kelas dan mengajar matematika. Yang mana pelajaran matematika itu adalah mata pelajaran Favorite ku.
Kemudian wali kelasku mengabsen, dari mulai si kembar Anda dan Andi, Angga dan Anggi yang membuat keonaran tersendiri. Sampai-sampai aku dan teman-teman yang lainnya terbahak-bahak mentertawakan mereka berempat. Pengabsenan itu dilanjutkan, suasana menjadi sunyi ketika disebutkan nama Gilang prasetya tidak hadir. Semuanya warga kelas kebingungan, hanya saja aku sendiri yang menahan pirasat kebingunganku itu. Karena aku tak mau berandai-andai jika hasilnya masih nihil.
“oh iya, rekan kalian Gilang Prasetya tidak mengikuti MOPD seminggu kemarin, dikarenakan sakit dan sampai saat itu dia belum sembuh.”
Hati siapa yang tak bertanya-tanya mendengar nama sahabatnya disebutkan yang belum jelas benar tidaknya. Apakah itu benar sahabatku? Masih bertanya-tanya. Jelas saja pikirku kembali pada pikiran pertama, saat berkenalan dengan Gilang Rahardja yang aku pikir dia sahabat lamaku dan ternyata bukan.
Empat tahun lalu aku selalu bersama empat, bersama Gilang, Reza dan Akri. Bermain bersama, belajar dan kebanyakan waktu aku pergunakan bersama mereka. Dari malai sekolah,  mengaji di pesantren Miftahul khazan dan Les. Rasanya semangat itu tak pernah lenyap oleh kemalasan yang kukuh menghampiri diriku dan mereka. Namun saat menjelang kita masuk SMP, kita berpisah. Aku tetap di Tasikmalaya, Gilang di Bandung karena ikut kakaknya, Reza di Malang karena ikut neneknya dan Akri di Jakarta ikut mamahnya. Tak ada kabar, sepucuk suratpun tak pernah datang menghampiriku. Aku rindu kalian sahabat . . .
“oh iya, struktur organisasi apakah sudah dibentuk?”
“sudah bu.”
”baik, perkenalan dari ibu dicukupkan sekian. Ada yang mau ditanyakan?”
“tidak, Bu.”
Sepulang sekolah aku masih memikirkan “apakah benar teman sebangkuku adalah sahabat kecilku?” masih bertanya-tanya. Andai saja kau tahu betapa lelahnya aku mengendalikan kepenasaranku yang memuncak, menurun dan memuncak. Masih belum tidur, padahal jam sudah menunjukan setengah sepuluh, tak biasanya. Semoga orang yang besok  sebangku denganku cepat lekas sembuh dengan hati yang masih berandai-andai.
Ku buka foto album, dimana terdapat memori masa lalu bersama ke tiga sahabatku. Aku tertidur dengan memeluk album itu. Semoga doa dalam mimpiku terkabulkan, karena kerinduanku yang menunggu kedatangan sahabat lamaku.
“Tok tok tok” suara pintu yang diketuk.
“Adji, bangun! Sudah siang, sudah jam tujuh.”
“Apa, jam tujuh?”
Aku langsung mandi dan memakai seragam sekolah baruku, mengambil ransel yang sudah aku siapkan beserta buku-bukunya semalam. Tanpa sarapan aku langsung pergi kesekolah. Biarkan aku sarapan di sekolah, karena waktuku di perjalanan hanya tinggal lima belas menit lagi.
“Mah, aku tidak sarapan di rumah, Biar nanti saja di sekolah. Adji pamit iya. Assalamu’alaikum . . .”
Sesampai disekolah ternyata hampir saja pintu gerbang sekolah akan ditutup. Berjalan menuju kelas melewati lorong koridor, betapa jantung ini berdetak kencang menanti kehadiran seseorang yang masih tanda Tanya.
“assalamu’alaikum . . .” ternyata sudah ada Guru, dan ternyata . . .
“Adji?” Tanya lelaki menyebutkan namaku di belakang wujudku.
Kubalikan badan melikat kebelakang.
“Gilang?”
Disaat itu aku terharu melihat sahabatku yang begitu sangat pangling, begitu juga sebaliknya. Dia memelukku dan begitu juga aku memeluknya. Percaya tidak percaya, angan masa sekarang ke masa lalu terjadi juga.
“ku kira kau tak akan mengenali ku lagi?”
“bagaimana aku tak mengenalimu, aku selalu merindukanmu. Wahai sahabat.”
“Aku juga.”
Hanya saja aku tidak bisa menyambut pertemuan yang tidak pernah dijanjikan ini  sebelumnya. Aku hanya bisa memperlihatkan album foto tantang masa lalu yang selalu ku simpan baik-baik. Tentang aku, dia dan dua sahabat yang tidak tahu dimana mereka berada.
“oh iya, pagi tadi aku bertemu Reza dan Akri, mereka  berada di X-7.”
“Benarkah itu? Tetapi semasa MOPD aku tak pernah melihat mereka.”
“iya benar, mungkin karena mereka sudah pangling sehingga kamu merasa asing melihatnya. Istirahat nanti kita temui mereka. Kita melepas rindu dengan sambutan foto masa lalu.”
Tuhan  . . . terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar