Sapu tangan terjatuh ke
rumput yang masih basah. Pagi yang indah, halus warna tirai langit membuka
cahaya keabadian. Lengkap sudah semangatku, hari ini pertama aku belajar di
sekolah baru. Bagaimana tak penuh dengan warna, yang ku pakai semuanya serba
baru. Syukurku tak pernah usai Senyum mereka “kedua orang tua” adalah
semangatku.
Melirik ke kiri dan ke kanan
semuanya masih asing, hanya senyum dan sapa aku terima juga sebaliknya.
“hai . . . . salam kenal,
namamu siapa?”
Sesosok anak lelaki yang
seumuran denganku menyodorkan tangannya untuk berkenalan denganku. Disaat
suasana pagi itu kelas masih penuh dengan keheningan. Tepat kelasku di X-2 yang
masih sepi menanti keramaian.
“salam kenal kembali, namaku
Adji Irawan. Namamu?”
“aku Gilang, kamu kelas X-2
juga?”
“iya, aku dikelas ini. Kamu
juga?”
“iya.”
Gilang, nama itu mengingatkan
aku pada seseorang. Sahabat kecilku semasa sekolah dasar dulu. Masih ingat, dia
pintar dalam bahasa inggris dan berbeda dengan ku, aku berbakat dalam
matematika. Mungkin itulah yang dikatakan “Tuhan selalu adil terhadap
hamba-Nya.”
“kamu duduk dengan siapa?”
“aku duduk dengan Firdza, dia
se SMP denganku. Hanya saja dia belum datang, mungkin kesiangan. Kamu bingung
iya mau duduk dengan siapa?”
“iya, aku bingung duduk
dengan siapa.”
“nanti juga ada teman-teman
baru yang lainnya. Tenang saja!”
Sikap Gilang ini percis
seperti Gilang yang ku kenal empat tahun lalu. Heranku semakin memuncak,
mengapa hati ini malah seperti yang sedang penasaran. Ada apa di pagi ini?
Jelas waktu masih menyimpan semua jawaban.
“nama lengkap kamu apa,
Lang?”
“nama lengkap aku Gilang
Maharadja. Kenapa?”
“enggak, ku kira engkau
gilang sahabatku dulu. Tapi bukan.”
Jelas, wajahnyapun sangatlah
asing. Namun karena kerinduanku pada sahabatku itu yang begitu menggebu,
sehingga setelah mendengar nama dia Gilang membuat pikirku menjadi respon lebih
terhadapnya. Ternyata bukan, karena Gilang yang ku kenal dulu namanya Gilang
Prasetya bukan Gilang Maharadja.
Kelas semakin ramai, tangan
menjabat tangan adalah tradisi saat pertama kenalan. Berbeda-beda orang, suku
dan karakter. Mereka asing dan mungkin mereka juga asing terhadapku. Terpaksa
aku sendiri kedua dari belakang, yang mana didalam satu baris terdapat lima
bangku. Memang dari saat MOPD aku duduk sendiri, mungkin kedudukan laki-laki di
kelas ini ganjil.
Tiba seorang wanita yang
seumuran dengan ibuku masuk kedalam kelas dengan pakaian rapi dan berkerudung
penuh pancaran senja. Sinar dan aura keibuannya sudah terlihat, ternyata beliau
wali kelas di kelasku.
“assalamu’alaikum semuanya.”
“Wa’alaikumussalam . . . Bu.”
“apa kabar hari ini?”
Itulah semboyan di sekolah
baruku padam menyapa.
“Alhamdullillah, Luar biasa,
Allahuakbar.”
“baiklah, perkenalkan nama
ibu Nimas Ayu Wulansari. Disini ibu mengajar matematika dan sekaligus menjadi
wali kelas di X-2 ini.”
Tentu bahagia sekali rasanya,
wali kelasku mengajar matematika. Pikirku pada Gilang Prasetya sahabat lama
jadi memudar, karena terganti oleh kehadiran Ibu Nimas sekaligus wali kelas dan
mengajar matematika. Yang mana pelajaran matematika itu adalah mata pelajaran
Favorite ku.
Kemudian wali kelasku
mengabsen, dari mulai si kembar Anda dan Andi, Angga dan Anggi yang membuat
keonaran tersendiri. Sampai-sampai aku dan teman-teman yang lainnya terbahak-bahak
mentertawakan mereka berempat. Pengabsenan itu dilanjutkan, suasana menjadi
sunyi ketika disebutkan nama Gilang prasetya tidak hadir. Semuanya warga kelas
kebingungan, hanya saja aku sendiri yang menahan pirasat kebingunganku itu.
Karena aku tak mau berandai-andai jika hasilnya masih nihil.
“oh iya,
rekan kalian Gilang Prasetya tidak mengikuti MOPD seminggu kemarin, dikarenakan
sakit dan sampai saat itu dia belum sembuh.”
Hati siapa yang tak
bertanya-tanya mendengar nama sahabatnya disebutkan yang belum jelas benar
tidaknya. Apakah itu benar sahabatku? Masih bertanya-tanya. Jelas saja pikirku
kembali pada pikiran pertama, saat berkenalan dengan Gilang Rahardja yang aku
pikir dia sahabat lamaku dan ternyata bukan.
Empat tahun lalu aku selalu
bersama empat, bersama Gilang, Reza dan Akri. Bermain bersama, belajar dan
kebanyakan waktu aku pergunakan bersama mereka. Dari malai sekolah, mengaji di pesantren Miftahul khazan dan Les.
Rasanya semangat itu tak pernah lenyap oleh kemalasan yang kukuh menghampiri
diriku dan mereka. Namun saat menjelang kita masuk SMP, kita berpisah. Aku
tetap di Tasikmalaya, Gilang di Bandung karena ikut kakaknya, Reza di Malang
karena ikut neneknya dan Akri di Jakarta ikut mamahnya. Tak ada kabar, sepucuk
suratpun tak pernah datang menghampiriku. Aku rindu kalian sahabat . . .
“oh iya, struktur organisasi
apakah sudah dibentuk?”
“sudah bu.”
”baik, perkenalan dari ibu
dicukupkan sekian. Ada yang mau ditanyakan?”
“tidak, Bu.”
Sepulang sekolah aku masih
memikirkan “apakah benar teman sebangkuku adalah sahabat kecilku?” masih
bertanya-tanya. Andai saja kau tahu betapa lelahnya aku mengendalikan
kepenasaranku yang memuncak, menurun dan memuncak. Masih belum tidur, padahal
jam sudah menunjukan setengah sepuluh, tak biasanya. Semoga orang yang
besok sebangku denganku cepat lekas sembuh
dengan hati yang masih berandai-andai.
Ku buka foto album, dimana
terdapat memori masa lalu bersama ke tiga sahabatku. Aku tertidur dengan
memeluk album itu. Semoga doa dalam mimpiku terkabulkan, karena kerinduanku
yang menunggu kedatangan sahabat lamaku.
“Tok tok tok” suara pintu
yang diketuk.
“Adji, bangun! Sudah siang,
sudah jam tujuh.”
“Apa, jam tujuh?”
Aku langsung mandi dan memakai seragam
sekolah baruku, mengambil ransel yang sudah aku siapkan beserta buku-bukunya
semalam. Tanpa sarapan aku langsung pergi kesekolah. Biarkan aku sarapan di
sekolah, karena waktuku di perjalanan hanya tinggal lima belas menit lagi.
“Mah, aku tidak sarapan di rumah, Biar
nanti saja di sekolah. Adji pamit iya. Assalamu’alaikum . . .”
Sesampai disekolah ternyata hampir saja
pintu gerbang sekolah akan ditutup. Berjalan menuju kelas melewati lorong
koridor, betapa jantung ini berdetak kencang menanti kehadiran seseorang yang
masih tanda Tanya.
“assalamu’alaikum . . .” ternyata sudah ada
Guru, dan ternyata . . .
“Adji?” Tanya lelaki menyebutkan namaku di
belakang wujudku.
Kubalikan badan melikat kebelakang.
“Gilang?”
Disaat itu aku terharu melihat sahabatku
yang begitu sangat pangling, begitu juga sebaliknya. Dia memelukku dan begitu
juga aku memeluknya. Percaya tidak percaya, angan masa sekarang ke masa lalu
terjadi juga.
“ku kira kau tak akan mengenali ku lagi?”
“bagaimana aku tak mengenalimu, aku selalu
merindukanmu. Wahai sahabat.”
“Aku juga.”
Hanya saja aku tidak bisa menyambut
pertemuan yang tidak pernah dijanjikan ini
sebelumnya. Aku hanya bisa memperlihatkan album foto tantang masa lalu
yang selalu ku simpan baik-baik. Tentang aku, dia dan dua sahabat yang tidak
tahu dimana mereka berada.
“oh iya, pagi tadi aku bertemu Reza dan
Akri, mereka berada di X-7.”
“Benarkah itu? Tetapi semasa MOPD aku tak
pernah melihat mereka.”
“iya benar, mungkin karena mereka sudah
pangling sehingga kamu merasa asing melihatnya. Istirahat nanti kita temui
mereka. Kita melepas rindu dengan sambutan foto masa lalu.”
Tuhan . . . terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar