Wanita tegar, sosok itulah yang
mengingatkan aku pada ibuku sendiri. Karenanyalah sekarang aku bisa menghirup
udara. Atas nafas cinta kasihnya terhadapku, meski sejak pertama ku merasakan
dinginnya getir seorang ibu melahirkanku, dia tetap tersenyum manis walau
sejujurnya berapa banyak darah yang dia keluarkan hanya untuk aku lahir.
Erangan ku tak henti-hentinya melengking seperti pementasan seriosa dengan
oktap yang sangat tinggi dan adzan seorang ayah yang mengumandangkan
ditelingaku, pertanda aku sudah diislamkan oleh kedua orang tuaku. Suasana
menjadi tenang dan penonton setia seriosapun bubar bahagia. Aku telah lahir
dari orang tua yang sangat menyayangi dan mencintaiku.
“kenapa kamu? Melamun saja. Tak baik anak
kecil melamun terus.” Tanya guruku yang sangat mengagetkanku.
“Ibu ngagetin aja. Iya bu aku sedang
mengenang masa kecilku.” Jawabku.
“masa kecil? Ada apa dengan masa kecilmu?”
Tanyanya kembali.
“Ada apa? Aku pun tak tahu Bu. Namun
rasanya telah ada yang hilang.” Jawabku lesu.
“ceritakan saja sama Ibu!” perintahnya.
Aku
hanya diam, bibirku tak sedikitpun bergerak. Kakulah aku, ada apa denganku?
“ kenapa diam? Cerita saja! Jangan malu,
Ibu juga mempunyai anak yang ibu sayangi, begitu juga kamu anak didik ibu dan
di sekolah ibu adalah orang tuamu.” Perintahnya.
“dulu kasih sayang itu selalu kurasakan
dimana aku merasa tenang dan nyaman di dalam rumah bersama mereka. Tapi, kini
semuanya hilang entah kemana dan dicaripun pasti hilang kembali.” Curahanku.
“Kasih sayang? Kau terlantarkan orang tua?”
tanyanya heran.
“Mungkin! Anak mana Bu yang mau hidup tanpa
perhatian orang tua. kadang iri pada dunia mengapa aku berbeda? Melihat
keluarga burung Nuri dipagi hari meski berbising tangis karena kelaparan tetapi
mereka tetap hadir menjaga anak-anaknya dan kembali membawa kebahagiaan bukan
kesedihan.” Jelasku.
“Memangnya siapa?” tanyanya kembali dengan
penuh keheranan.
“A…yah, Bu.” Jawabku ragu.
“sudah Ibu duga, anak zaman sekarang
berpendapat salah. Zaman semakin memenjarai kita, disitulah kita sebagai
penerusnya harus pintar-pintar mengendalikan ini semua. Supaya semuanya tetap
terjaga pasti dan bukan terbebas keji.” Sarannya.
“Tapi mereka memperlakukanku salah. Bu?”
mengelaknya aku.
“Mereka sama sekali tak salah, dulu apakah
banyak yang lulusan S1? Tidaklah banyak. Termasuk Ayahmu sama sekali tidak
termasuk. Tetapi di zaman sekarang ini sangatlah dibutuhkan orang-orang yang
mempunyai skile yang multitalent, apakah ayahmu termasuk? Tanyanya.
“Ibu jangan menghina Ayah saya.” dengan
sedikit emosi.
“bukannya menghina, tetapi Ibu hanya
menjelaskan arti sebenarnya.” Belanya.
“Ayahku hanya Lulusan SMP.” Jawabku.
“Pantas saja. Sekarang bagaimana bisa
membahagiakan kamu?” tanyanya.
“dia bekerja merantau ke negeri seberang dan
jarang pulang.” Jawabku.
“kau tahu dia mengorbankan Ibumu kesepian?
Dan merelakan kasih sayang untukmu hilang untuk sementara?” tanyanya.
“Aku tahu, semua itu karena Uang. Dan itu
semua untuk Aku dan Ibuku di rumah. Supaya bisa hidup dan aku sekolah.” Jawabku.
“kau masih membenci mereka?”tanyanya.
“kini aku mengerti, mereka tak ingin aku
seperti mereka. Aku harus jauh lebih baikdari mereka. Dan akulah harapan masa
depan mereka. Mereka ingin aku menjadi seseorang yang berguna, bagi mereka,
Agama dan Negara. Membahagiakan mereka adalah harapanku, yaitu dengan ilmu.
Supaya aku tak hengkang dalam menjalani mahligai prahara hidup menuju Angan
Sandiwara Kehidupan.” Jelasku dengan penuh kesadaran.
Karenanyalah
aku tersadar, pahlawanku! Selain ilmu kau memberikan pengertian yang tiada
batas. Gunamu sangatlah berarti untuku. Kini selain Orang tuaku, izinkanlah aku
menganggap dirimu orang tuaku juga. Jadikanlah aku menjadi anak yang penuh
kepastian ilmu dan harap yang tak habis ditelan waktu. Meskipun ku tahu menjadi
diri sendiri itu lebih baik, tetapi setidaknya aku masih labil dalam mencari
pendirian jati diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar