Senin, 09 Juli 2012

Semangatku! #Guru


Wanita tegar, sosok itulah yang mengingatkan aku pada ibuku sendiri. Karenanyalah sekarang aku bisa menghirup udara. Atas nafas cinta kasihnya terhadapku, meski sejak pertama ku merasakan dinginnya getir seorang ibu melahirkanku, dia tetap tersenyum manis walau sejujurnya berapa banyak darah yang dia keluarkan hanya untuk aku lahir. Erangan ku tak henti-hentinya melengking seperti pementasan seriosa dengan oktap yang sangat tinggi dan adzan seorang ayah yang mengumandangkan ditelingaku, pertanda aku sudah diislamkan oleh kedua orang tuaku. Suasana menjadi tenang dan penonton setia seriosapun bubar bahagia. Aku telah lahir dari orang tua yang sangat menyayangi dan mencintaiku.
“kenapa kamu? Melamun saja. Tak baik anak kecil melamun terus.” Tanya guruku yang sangat mengagetkanku.
“Ibu ngagetin aja. Iya bu aku sedang mengenang masa kecilku.” Jawabku.
“masa kecil? Ada apa dengan masa kecilmu?” Tanyanya kembali.
“Ada apa? Aku pun tak tahu Bu. Namun rasanya telah ada yang hilang.” Jawabku lesu.
“ceritakan saja sama Ibu!” perintahnya.
Aku hanya diam, bibirku tak sedikitpun bergerak. Kakulah aku, ada apa denganku?
“ kenapa diam? Cerita saja! Jangan malu, Ibu juga mempunyai anak yang ibu sayangi, begitu juga kamu anak didik ibu dan di sekolah ibu adalah orang tuamu.” Perintahnya.
“dulu kasih sayang itu selalu kurasakan dimana aku merasa tenang dan nyaman di dalam rumah bersama mereka. Tapi, kini semuanya hilang entah kemana dan dicaripun pasti hilang kembali.” Curahanku.
“Kasih sayang? Kau terlantarkan orang tua?” tanyanya heran.
“Mungkin! Anak mana Bu yang mau hidup tanpa perhatian orang tua. kadang iri pada dunia mengapa aku berbeda? Melihat keluarga burung Nuri dipagi hari meski berbising tangis karena kelaparan tetapi mereka tetap hadir menjaga anak-anaknya dan kembali membawa kebahagiaan bukan kesedihan.” Jelasku.
“Memangnya siapa?” tanyanya kembali dengan penuh keheranan.
“A…yah, Bu.” Jawabku ragu.
“sudah Ibu duga, anak zaman sekarang berpendapat salah. Zaman semakin memenjarai kita, disitulah kita sebagai penerusnya harus pintar-pintar mengendalikan ini semua. Supaya semuanya tetap terjaga pasti dan bukan terbebas keji.” Sarannya.
“Tapi mereka memperlakukanku salah. Bu?” mengelaknya aku.
“Mereka sama sekali tak salah, dulu apakah banyak yang lulusan S1? Tidaklah banyak. Termasuk Ayahmu sama sekali tidak termasuk. Tetapi di zaman sekarang ini sangatlah dibutuhkan orang-orang yang mempunyai skile yang multitalent, apakah ayahmu termasuk? Tanyanya.
“Ibu jangan menghina Ayah saya.” dengan sedikit emosi.
“bukannya menghina, tetapi Ibu hanya menjelaskan arti sebenarnya.” Belanya.
“Ayahku hanya Lulusan SMP.” Jawabku.
“Pantas saja. Sekarang bagaimana bisa membahagiakan kamu?” tanyanya.
“dia bekerja merantau ke negeri seberang dan jarang pulang.” Jawabku.
“kau tahu dia mengorbankan Ibumu kesepian? Dan merelakan kasih sayang untukmu hilang untuk sementara?” tanyanya.
“Aku tahu, semua itu karena Uang. Dan itu semua untuk Aku dan Ibuku di rumah. Supaya bisa hidup dan aku sekolah.” Jawabku.
“kau masih membenci mereka?”tanyanya.
“kini aku mengerti, mereka tak ingin aku seperti mereka. Aku harus jauh lebih baikdari mereka. Dan akulah harapan masa depan mereka. Mereka ingin aku menjadi seseorang yang berguna, bagi mereka, Agama dan Negara. Membahagiakan mereka adalah harapanku, yaitu dengan ilmu. Supaya aku tak hengkang dalam menjalani mahligai prahara hidup menuju Angan Sandiwara Kehidupan.” Jelasku dengan penuh kesadaran.
            Karenanyalah aku tersadar, pahlawanku! Selain ilmu kau memberikan pengertian yang tiada batas. Gunamu sangatlah berarti untuku. Kini selain Orang tuaku, izinkanlah aku menganggap dirimu orang tuaku juga. Jadikanlah aku menjadi anak yang penuh kepastian ilmu dan harap yang tak habis ditelan waktu. Meskipun ku tahu menjadi diri sendiri itu lebih baik, tetapi setidaknya aku masih labil dalam mencari pendirian jati diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar