PESANTREN yang mempertemukan.
Setelah selesai shalat isya kami belajar bersama, bercanda gurau, erat sekali rasanya kita
disatukan dalam satu kamar dan tumbuhlah kebersamaan didalamnya. Nikmat rasanya
mereka seperti keluargaku sendiri. Didalam kamar kecil ini hanya terdapat 6
orang saja, karakter penghuninya jauh sangat berbeda-beda. Tapi tak apalah
karena perbadaan itu indah.
Kenangan masa lalu yang mungkin ingin kualami lagi bersama sahabat-sahabatku itu, ”hanya mimpi. Sudahlah jangan melamun terus itu hanya masa lalu. Mereka sudah tiada disisi, mereka mempunyai mimpi yang tak sama dengan mu .” kata hatiku.
Jelas saja rasa rinduku pada mereka tak
terhapus sampai saat ini, ingat janji kita “Kelak Besar Nanti Kita Tak Bersama
Lagi, jangan pernah lupakan kebersamaan kita dipesantren ini”. Kami semua
setuju. Sungguh . . . . . (jatuh air mata).
Aneh selaki rasanya, ada apa dengan ku?
Astagfirullah . . . hampir saja lupa aku harus segera ke sanggar untuk latihan
teater.
Ada apa ini, ramai sekali di gedung itu.
(menghampirinya).
“Wah hebat selaki” terucap dibibir.
Begitu kusangat terkejut melihat pementasan
teater dari anak SMA Negeri 4 Bandung. Sayang . . . menontonnya tak dari awal
(penyesalan dalam hati). Ku langsung pergi ke sanggar Santa Maria di belakang
gedung pementasan itu, masih kuterlamun oleh masa lalu itu.
“Die, kesini!!!” suruh teman
sanggar ku.
“ia, ada apa kamu panggil aku?”.
“Kamu sudah lihat pertunjukan
drama dari SMA Negeri 4 Bandung? Sekarang ini kita ada pelatihan dari sana
untuk meningkatkan kreatifitas teater bagi anak-anak tingat SMA seperti kita.”
“terlambat teman, baru saja aku datang. Oh ia,
asyik tuh sanggar kita bisa lebih maju lagi.”
Rupanya yang kurasakan sekarang
adalah bahagia, tapi apa bisa remaja sepertiku menjadi seorang tokoh dalam
teater. Masalahnya aku beda agama. Sementara sanggar ini khusus hanya untuk
kalangan Kristen saja. Urungku menyecil tak ada jalan lagi, dikatakan buntu
tapi sebagian dari mereka tahu kalau aku ini seorang muslim. Mereka baik padaku
kenapa aku harus malu. Ingat kata sahabat-sahabatku saat dipesantren dulu
“perbedaan ituh indah”. Aku harus bisa, teruslah berusaha, meskipun tak sama,
tapi kita adalah satu.
“Die, kemari!!!!” pangil
temanku.
“Ia tunggu sebentar.”
Kulangsung menghampirinya.
“Pementasan mereka sudah
selesai.”
“Sekarang mereka dimana?” tanyaku.
“Mereka kini digedung dekat
gereja, yok kita hampiri mereka!” ajaknya.
Detak jantungku berdetak tak
menentu, takutnya kepala sanggar bertanya tentang aku. Oh . . . betapa
gelisahnya aku. Sesampainya aku disana, aku duduk didekat Melanie.
“hai mel, apa kabar?”. Tanyaku.
“Alhamdulillah, aku baik-baik
saja.”
“kam . . .?”
“Oh mana tamunya kok belum
ada?” aku langsung memotong pembicaraan.
Tiba-tiba teman ku yang tadi datang,
mengajak aku ketempat dimana tamu itu berada.
“tunggu!!!!!”
perintah Melanie.
Tapi aku menghiraukannya.
“huh… hampir saja ketahuan,
untuknya ada yang mengajakku ” kata hatiku.”
“Ini
Die, tamu dari SMA Negeri 4 Bandung. Kita kenalan yuk!” ajaknya.
“Ia,
ayuk” jawabku dengan perasaan gembira.
Satu persatu yang ada didalam
ruangan itu ku sapa dan berjabatan tangan, menanyakan Siapa nama begitu juga
sebaliknya. Kadang shearing tentang teater dari mulai tokoh, penghayatan tokoh,
pembawaan, gerak, dan banyak lagi. Jujur berasa punya banyak teman dan berharap
akan menjadi teman seperjuangan.
Kulihat dari kejauhan mata rasanya tak
asing bagiku. Wajahnya, begitu juga matanya seakan tajam melihat pada ku.
Kuhampiri dia, Terkejutnya aku.
“marix?”
“maaf
siapa ia?”
Sedih sekali rasanya dia tak
mengenaliku.”aku Rudie, rix.” Jawab ku.
“Kok
bisa kamu tau nama aku, padahal kita tak pernah bertemu sebelumnya?”
Aku semakin penasaran, apa
benar ini salah satu sahabat dari 6 sahabatku. “kamu benar-benar tak mengenali
ku rix?”tanyaku kemudian.
“ah, kamu jangan bercanda. Gak
lucu ah.” Usilannya.
“perbedaan itu indah ia.”
Jawabku.
“kamu benar-benar Rudie?
sahabat kecilku yang pernah sekamar bersama 4 orang sahabat dan bersama kita
menjadi 6 orang dipesantren dulu?” dengan sangat terharu.
Kulihat matanya berkaca-kaca.
Dan tiba saja Melanie menghampiri kita
berdua.
“Marix?”
dengan terkejut.
“Melan?”
Dengan nada keras dan terkejut.”maafkan aku!”.
Dia langsung berlari meninggalkan kami
berdua, tak kuasa melihat Melanie menagis di keramaian seperti ini. Aku
langsung membawanya ke tempat yang sepi dan sunyi untuk menenangkannya.
“Die,
ada apa dengan Marix?” tanyanya.
“mungkin dia sedang
terburu-buru, Mel.” Padahal aku tahu mungkin Marix malu akan kelainan pada dirinya,
dan tak ingin Melanie mengetahuinya bahwa dia itu Gay.
Penasarankupun semakin
menggebu, kutahu kalau rombongan dari mereka akan pulang tepat pukul 17:35 WIB.
Aku memanfaatkan waktu sebaik-baik ku bisa untuk mencari jawaban kenapa tadi
Dia malah menghindar begitu saja. Padahal Melanie sangat merindukan
kehadirannya karena Sayang dan Cinta menerima Dia apa adanya.
“Pak, rombongannya belum masuk
mobil ia?” Tanya ku pada supir.
“belum dek, masih didalam
gedung.” Jawabnya.
“oh, makasih ia pak.”
Kulihat jam ditangan ku sudah menunjukan
pukul 17:00 WIB. Aku semakin tergesa-gesa akan pemanfaatan waktu yang sekiranya
ku bisa. Kulihat didalam gedung tak ada siapa-siapa urungku semakin gelisah.
Ini demi kebahagiaan temanku sendiri demi Melanie dan Marix. Kulihat ada
penjaga.
“Pak,
Rombongan SMA Negeri 4 Bandung sedang ada dimana ia?”
“oh
mereka sedang berada dipameran batik, de.”
“Makasih
ia, pak.”
Terburu-burunya aku saking takut akan
terlambatnya waktu. Sungguh aku tak menyangka mengapa semuanya menjadi
berlarut-larut seperti ini. Marix sahabatku, meski dia mempunyai kelainan tapi
setidaknya aku bisa membuat dia kembali seperti layaknya aku.
Melihanya saja aku terharu, Melanie juga
sama dia temanku.
Setibanya di tempat pameran batik, aku
bingung dimana Marix berada. Aku mencari kesana kesini dan waktu pemberangkatan
semakin dekat tinggal 15 menit lagi. Tiba saja aku melihat mobil bisnya itu
sudah berangkat dan aku mengejarnya. Sayang mobil itu tidak berhenti.
Bisa Bisa Bisa...
BalasHapus